Selasa, 24 September 2013

Kecil Nilainya Besar Manfaatnya

Sering sekali saat berbelanja di pasar, mall, kedai, swalayan, bayar uang air, bayar listrik, dlsb, kita menerima kembaliannya berupa uang pecahan kecil, seperti: Rp. 100, Rp. 200, Rp. 500, ataupun Rp. 1.000, - yang terkadang kita merasa itu kurang berharga. Bahkan, tidak jarang kita juga mengabaikannya dan tidak menerimanya, karena beranggapan itu hanya akan memperberat kantung ataupun dompet kita, dan, walaupun kita menerimanya dan membawanya pulang, biasanya kita letakkan saja di – asal tempat, sehingga terabaikan dan tidak bermanfaat dalam jangka waktu yang cukup lama. Namun tahukah anda! Jika uang pecahan kecil itu dikumpulkan dan dikelola dengan baik, maka apa yang kita anggap kurang bermanfaat itu akan sangat bermanfaat dan berarti.

Kecil Nilainya; Besar Manfaatnya...Saat perjalanan pulang ke Medan(21/9) dari Sukarame, Kec. Munte, Kab. Karo, - menghilangkan rasa jenuh dan kantuk, kami mengisinya dengan membicarakan hal-hal pendukung pelayanan dan pengembangan gereja, hingga sampai pada pengadaan diakoni sosial di GIKI Medan yang sesuai kesepakatan dikenakan Rp. 10.000,- /bulan yang pengumpulannya dimulai bulan Oktober ini(sesuai hasil sermon Sabtu, 7 Sep. 2013), sehingga, timbullah beberapa pertanyaan yang salah satunya, yakni: “Bagaimana, jika ada anggota jemaat kita yang membutuhkan dalam waktu dekat ini, sedangkan kas gereja masih sedikit?” Bahkan, jika dibanding dengan pelayanan yang sudah berjalan dan program yang ada(akan datang), maka itupun sangat kurang; dan pengutipan iuran diakoni Rp. 10.000,-/bulan/rumah – tangga baru efektif bulan Oktober ini; ditambah beberapa agenda GIKI Medan dalam waktu dekat yang tentunya membutuhkan dana, seperti: pentahbisan Pengerja GIKI Medan, KKR ke Pekan Baru, KKR ke Tiga Lingga(?), Pentahbisan Majelis Pengerja GIKI Medan, dan bulan Natal yang sudah mendekat; serta kemampuan memberi jemaat yang masih rendah.  Dengan benyaknya program pelayanan, sehingga kas dan iuran diakonia saja tentunya tidak mencukupi, maka kita mengambil inisiatif untuk melibatkan semua jemaat, baik anak kecil, remaja, pemuda, dan orang tua untuk turut mengambil bagian dalam hal mendukung dana diakoni. Namun, bagaimana caranya agar semua mau berperan sukarela dan tidak merasa berat? Maka muncullah ide untuk membuat kantung persembahan khusus pecahan mata uang terkecil; mengajak semua jemaat GIKI Medan untuk peduli, dengan jalan mudah dan tidak memberatkan, yakni dengan mengumpulkan ke kantong persembahan(khusus disediakan) uang pecahan terkecil yang sering  terabaikan untuk mendukung dana diakoni sosial gereja.

Minggu, 22 September 2013. Selesai Ibadah; Majelis Pengerja dan Aktifis memberikan contoh dihadapan seluruh jemaat GIKI Medan dengan memasukkan pecahan mata uang terkecil(Rp. 100, Rp. 200, Rp.500, ataupun Rp. 1000) kedalam kotak persembahan yang telah dikhususkan untuk program ini, dan hasilnya: semua jemaat merespon dengan baik dan turut melakukannya juga, baik anak kecil, remaja, pemuda, dan orang tua; dan program ini diharapkan berjalan dengan baik dan disetiap minggunya semua jemaat dari semua usia turut mengambil bagian untuk mensukseskan program ini, dan GIKI Medan menamai program ini dengan “Persembahan Pecahan Mata Uang Terkecil” dengan motto: “Kecil Nilainya; Besar Manfaatnya!”

Dengan kuasa Allah Bapa, kasih setia Tuhan Yesus Kristus, dan tuntunan Roh Kudus… uang pecahan terkecil ini akan menjadi berkat yang besar bagi sesama kita yang lebih membutuhkan. Mari seluruh jemaat didorong untuk masing-masing mengucapkan janji imannya untuk memenuhkan kantung persembahan khusus ini maksimal satu semester disetiap tahunnya. Mejuah-juah Tuhan Yesus Si Masu-masu. 


Taneh Karo Simalem
Gereja dan Budaya Ibarat Rel Kereta
Buluhawar Simalem
Karo Bukan Batak: Sekedar Opini dari Saya!
Uis Karo dan Karo Bukan Batak
KBB (Karo Bukan Batak!)



Karo Bukan Batak: Sekedar Opini Dari Saya


Polemik “Karo Bukan Batak” yang belakangan ini gencar dibahas di media online, dimana pada klimaksnya muncul dari hasil diskusi yang diadakan di Rumah Buku di Padang Bulan, Medan dan di radio online Nederland versi bahasa Indonesia dengan link: http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/radioshow/karo-bukan-batak  oleh seorang antropolog asli Karo Juara R. Ginting, dan kemunculan halaman word-press Karo Bukan Batak (https://karobukanbatak.wordpress.com/), ditambah pernyataan dan tulisan-tulisan yang gencar disampaikan tokoh Karo di Eropa, yakni: M. U. Ginting (Swedia), serta pernyataan yang disampaikan(Karo bukan diturunkan dari Batak/Karo bukan Batak) baru-baru ini oleh seorang budayawan Karo Malem Ukur Ginting (Bp. Sulgam) di acara ragam serumpun yang membahas tentang kebudayaan Karo, setidaknya dua kali penayangan oleh Deli TV - Medan, tak pelak membuat thema ini menjadi perbincangan yang seru di dunia maya. Sontak pro dan kontra bermunculan. Hal ini juga semakin diperkuat dengan banyaknya muncul fakta-fakta sejarah terbaru dari hasil penelitian yang dipubikasikan, yang merujuk kepada sejarah kehidupan masyarakat Karo dimasa lampau, baik masa kerajaan Aroe(HaruKaro Kuno), Masa Kolonial Belanda, dan yang terbaru adalah penemuan fosil manusia purba Karo - Gayo yang diperkirakan berusia 74000 tahun yang sempat banyak dipublikasikan di media dan secara resmi juga dipublikasikan oleh Sekretariat Kabinet Repoblik Indonesia, sehingga ini semua memicu tumbuh dan bangkitnya kesadar generasi Karo akan identitasnya setelah sekian lama diam dan pasrah saja kepada opini publik dengan apa yang dilebelkan kepadanya. Kini generasi Karo mulai berani bicara. Dan, jika saya boleh beri selogan "Generasi Muda Karo Berhak Tahu dan Berhak Berbicara."

Sesungguhnya, negara kita Indonesia tercinta ini memberikan ruang yang luas untuk berpendapat, dan bahkan memperjuangkan identitasnya yang terlepas dari identitas nasional. Pro dan kontra dari sebuah polemik juga hal yang lumrah, namun kembali sangat disayangkan karena banyak pergunjingan dan tuduhan yang dilontarkan kepada yang pro Karo bukan Batak kalau mereka(Juara, dkk) ini sebagai provokator, memecah belah, perusak ketentraman, dan penghianat. Padahal, sesungguhnya jika kita lebih memperhatikan dan mau sedikit mengerti, mereka tidaklah lebih dari hanya untuk mempertegas identitas mereka sebagai satuan etnis yang utuh dan berdiri sendiri(bukan sub-etnis), dan hendak memperjelas akan asal-usul mereka, serta meluruskan beberapa opini publik yang selama ini terbangun yang menurut mereka jauh dari fakta yang sesungguhnya. Maka pertanyaanya, salah-kah yang mereka perjuangkan itu? Tidak-kah mereka berhak berbicara? Dan, tidak-kah generesi mereka dikemudian hari juga berhak tahu? (Ingat Indian dan Aborigin, jangan sampai Karo demikian!).

Sekali lagi, pro dan kontra hal yang wajar! Bukankah demi kian? Dan, satu hal kalau berdiskusi hendaknya kedua belah pihak saling melontarkan fakta, logika, dan tradisi. Jangan hanya memaksakan tradisi yang kita anut untuk di-iyakan oleh lawan debat kita. Bukan begitu? Kita sering men-cap mereka radikal, provokator, pemecah belah, dan perusak… akan tetapi anehnya kita tidak berani menunjukkan fakta dan hanya memaksakan tradisi dan opini publik yang kita anut untuk di-aminkan oleh lawan bicara kita. Kalau demikian, bukankah kita yang provokator, perusak, dan pemecah itu? Tanpa kita sadari kita telah lebih dari apa yang kita tuduhkan kepada mereka.

Sadar! Bukankah mereka mengajukan fakta, logika, dan tradisi kalau Karo Bukan Batak, kemudian, mana fakta, logika yang menunjukkan Karo adalah Batak? Bukankah yang selama ini diajukan hanyalah tradisi(silsilah Si Raja Batak) dan opini publik? Ini jelas tidak berbanding(adil) jika hanya aspek tradisi yang ditekankan dan dipaksakan mejadi fakta, yang jelas-jelas jika ditinjau dari aspek ruang dan waktu sangat tidak logika dan tidak sejalan. Coba diingat-ingat kembali? Jadi, jangan paksakan Karo mengakui Si Raja Batak sebagai nenek moyangnya!

Selanjutnya, kita selalu katakan “jangan mencari perbedaan, karena jika dicari akan banyak perbedaan!” itu statemen yang bagus dan sangat benar. Tetapi, dua hal yang harus kita sadari dan diluruskan: pertama “Sama buka berarti melebur menjadi satu!” sebab, kalau memang demikian, mengapa tidak sekalian saja kita melebur dalam satu budaya dan identitas nasional? Kenapa harus ada Jawa, Minang,  Karo, Batak, Flores, Irian, dlsb? Karena, sesungguhnya kita dan para pendiri bangsa ini sadar bahwa kita sangat berbeda dan perbedaan itulah yang membuat indah dan kita satu, yakni: dalam cita-cita dan hati kita menuju Indonesia yang tentram dan damai, adil, juga sejahtra(Bhineka Tunggal Ika). Dan hal ini terbukti dalam sejarah bangsa ini, bahwa kapitalis dan komunis, gagal! Kedua: “perbedaan dan perpecahan(permusuhan)” itu dua kata yang sangat berbeda, baik huruf-huruf penyusunya, pelafalan, artian, dan makna. Ingat! Berbeda  tidaklah perpecahan. Jadi, walau Karo dan Batak berbeda bukan berarti Sumatera Utara ataupun Indonesia akan kiamat dan pecah, sebab jika kita berfikir demikian, maka kita tak meyakini dan menganut “Bhineka Tunggal Ika!”. Melayu, Jawa, Minang, Karo, Batak, dll berbeda, tetapi bukan perpecahan kita namakan! Namun, mengapa sekarang kita sangat alergi dengan perbedaan Karo dan Batak? Mengapa kita selalu berbicara solidaritas, persahabatan, persatuan, dan apalah itu, tapi nyata-nyata kita tak sanggup menerima perbedaan! Jadi, dimana solidaritas itu? Apakah bersahabat harus kita sama dalam segala hal? Atau, apakah kalau ingin bersahabat kita harus menjadi mereka ataupun, mereka harus jadi kita? Tidak, kan? Kucing dan tikus saja ada yang bersahabat walau ditakdirkan sebagaimangsa dan pemangsa, mengapa kita sangat alergi dengan perbedaan? 

Sesungguhnya masih banyak hal yang ingin saya utarakan, akan tetapi tidaklah saya rasa enak, karena akan di-cap juga provokator dikemudian hari. Jadi, sebenarnya yang hendak ingin saya sampaikan adalah, hendaknya kalau berdiskusi salinglah menghargai dan melontarkan fakta, logika, dan tradisi dengan akal dan fikiran yang sehat, agar ada titik terang dari apa yang didiskusikan, jangan lantas apa yang didoktrinkan kepada kita itulah yang kita anggap kebenaran yang mutlak.Kitab Suci Saja Mengandung Tafsiran, Karena Jika Tidak Demikian Dia(kitab suci-red) Tentunya Selalu Tidak Relevan Dengan Zaman Mejuah-juah. (by: Bastanta P. Sembiring/Pa Lagan).



Mejuah-juah




Mejuah-juah
Tuhan Yesus Si Masu-masu.